Friday, December 30, 2016

Secangkir Kopi Pembunuh


Wonosobo tahun 1989, di sudut gedung SMP 1 di depan alun-alun kota. Punggung Mbah Darmi terbungkuk-bungkuk membuka tutup wajan tanah liat kecil tempat ia memasak kue serabi kesukaanku. Lari pagi takkan lengkap tanpa berjongkok di sampingnya menikmati legitnya kue berbentuk bulan yang menggelembung di tengah itu.Tiba-tiba jajanan panas yang mendesis di mulutku terjatuh bersamaan dengan tubuhku yang terjengkang. Sontak aku melotot ke arah sesosok tubuh yang baru berlari mendekat dan menubrukku.
"Eh, ngapuro, Dik!" ujarnya cengengesan, berusaha meminta maaf.
"Ngati-ati, tha! Untung ora nubruk anglo panas!" seru pembuat serabi paling enak yang tiap pagi mangkal di pojok sekolah itu khawatir, sambil menunjuk tungku kecil berbahan bakar arang.
"Enak banget cuma minta maaf!" sahutku sengit. "Ganti dong!"
"Yeee ... kan udah minta maaf! Kok, masih marah, sih?" jawabnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata menahan panas kue berbahan dasar beras dengan kuah gula merah yang sedap. Aku hanya meliriknya sekilas. Sungguh pagi yang menyebalkan. Aku pun kembali melanjutkan dua putaran terakhir mengelilingi alun-alun. Sejak saat itu, sosoknya selalu berpapasan denganku di setiap putaran. Setiap minggu, sepanjang tahun. Tanpa saling menyapa. Kadang ia memanggil-manggil, kadang hanya nyengir lebar. Benar-benar merusak acara Minggu pagiku yang biasanya selalu menyenangkan. ***
Suatu siang yang basah di kota hujan. Aku duduk di teras memandangi tombak-tombak mungil yang terhunjam ke rerumputan. Tugas kuliah yang tak pernah habis benar-benar membuat otakku nyaris kosong. Kuseruput seduhan kopi tubruk yang telah kucampur dengan susu kental manis, sambil membaca Kincir Angin Para Dewa. Shidney Sheldon memang jago membuat darahku terpompa kembali, dan otakku yang semula berasa kosong terasa lebih berisi.Tiba-tiba sosok tinggi tegap menyandang ransel dengan rambut basah menjuntai ke wajah mengagetkanku.
"Hai, serabi panas!"
"Maaf, siapa ya?" tanyaku mengingat-ingat.
"Mosok klalen karo enyong?" ujarnya memberikan kata kunci. Serabi panas? Sepertinya aku ingat, dia kan ...
"Mau cari kost, Mas?" tanyaku seraya mengaduk-aduk ingatan masa lalu.
"Iya, Dik. Cuman dari tadi mondar-mandir nggak dapet. Tuwas wis puegel sikilku," lanjutnya lagi seperti berharap dipersilakan duduk untuk beristirahat.
"Monggo silakan duduk dulu, Mas. Mau minum apa, kopi apa teh?"
"Kalau ada kopi tubruk aja. Kalau ada lho, ya ...."
Aku pun bergegas menyeduhkan secangkir kopi tubruk yang aku bawa dari kampung kami. Kopi terbaik buatan sendiri. Aromanya mengepul, menghangatkan jiwa kami yang selalu rindu untuk pulang. Akhirnya kami duduk berdua menunggu hujan yang tak kunjung reda, sambil menghirup kopi masing-masing. Di sinilah kali pertama aku tahu siapa namanya. Sejak saat itu, dia sering bertandang. Entah sekedar membahas novel terbaru, memberikan oleh-oleh mudik, meminjam setrikaan, meminjamkan koran minggu yang ada rubrik sastranya, atau sekedar meminta kopi tubruk kesukaannya. Sampai suatu hari yang basah di bulan Januari.
"Dik, aku mau pamit. Aku dapat beasiswa S2 di Harvard, jaga diri baik-baik ya?" ujarnya sambil mengaduk-aduk kopi yang semakin mendingin.
"Wah, selamat yo! Aku melu seneng!" ujarku pura-pura gembira. Entah kenapa tiba-tiba suaranya terasa melubangi hatiku. Seperti ada sebuah ruang yang mendadak kosong di sana.Sejak saat itu, kami nyaris tak pernah bertemu kembali. Email-emailnya rutin menyapaku setiap hari. Lalu setiap minggu, setiap bulan, setelah itu dia raib entah ke mana.
***
07 Mei 2016. Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Aku bergegas turun dari taksi bandara berwarna biru, menuju sebuah restoran cepat saji tempatku harus menunggu keponakan yang ingin berlibur di rumahku.Kukeluarkan novel Harry Potter edisi terakhir. Lumayan buku setebal bantal bayi itu bisa membunuh waktu selama menunggu. Tiba-tiba, sebuah suara membuat jantungku nyaris copot.
"Masih suka sama Harpot, Mei?"
Aku tergeragap. Kupalingkan muka dari buku yang tengah aku baca ke arah datangnya suara. Betapa aku harus mengatur irama jantungku yang berloncatan seperti irama gendang kuda lumping yang sedang makan beling.
"Mas ... Mas Husin? Apa kabar?" seruku hampir tak bisa menguasai keadaan. Tenang ... tenang ... batinku sambil menarik nafas panjang. Kenapa bisa ada dia di sini?
"Alhamdulillah, baik. Kamu masih seperti dulu, hanya terlihat lebih dewasa!" ujarnya seraya duduk di hadapanku.
"Sudah ... sudah punya anak berapa?" tanyaku kehilangan topik pembicaraan. Biasanya itulah topik standar yang ditanyakan orang apabila lama tak bertemu.

"Baru lima! Kamu?" "Oh, baru empat, Mas!" sahutku sekenanya. Jadi, dia sudah menikah dan punya anak lima? Oh, betapa bodohnya aku! Kenapa aku bisa merindukan orang yang salah? Bahkan sepatah kata cinta pun belum pernah dia ucapkan. Beruntung seorang pemuda jangkung menghampiri, menyelamatkan ketidakberdayaanku.
"Maaf, saya pamit dulu, Mas. Ini anakku sudah datang!" ujarku seraya menggandeng keponakan dan bergegas meninggalkannya, yang masih memandangi kami hingga naik ke taksi dan meninggalkan bandara.Tulang rusukku terasa menyempit, hingga beberapa tarikan nafas panjang perlu aku lakukan untuk tetap bernafas. Dunia imajinasi yang aku bangun dari titik demi titik kerinduan dan harapan selama bertahun-tahun serasa menimbunku, meluluhlantakkan pertahananku. Mataku terasa mengabut, dan hatiku entah apakah ada kata yang bisa menerjemahkan apa yang aku rasakan.
***
Hujan masih saja mengguyur kotaku. Bahkan, ramalan cuaca hari ini menunjukkan suhu 25 derajat celcius, serta berpotensi hujan badai. Benar saja, matahari tampak enggan menampakkan wajahnya. Entah dia masih mengantuk atau takut dengan sambaran lidah petir. Siang ini sudah ke dua kalinya kuseduh kopi. Kuteguk sedikit demi sedikit sambil memandang hujan yang bagai tumpahan kemarahan langit pada bumi.
Secangkir kopi hitam menguarkan harum kerinduan. Kopi yang dipetik saat memerah ranum, dijemur tangan keriput Simbok di halaman surau. Setelah kering kami biasa menumbuk, menampi, sampai tersisa biji-biji kopi yang berkilat-kilat. Lalu wajan besi tebal di atas tungku terdengar beradu dengan sodet kayu. Wangi kopi mulai semerbak memenuhi dapur berdinding papan yang telah setia melindungi kami dari gigitan cuaca dingin. Kerinduan lah alasan kenapa dia selalu memilih kopi hitam kiriman dari kampung daripada olahan pabrik. Itu pula kenapa aku selalu menyeduh dua cangkir kopi. Kopi tubruk untuknya, dan kopi susu untukku. Lalu aku akan menghirupnya bergantian. Itulah caraku menghadirkan kembali sosoknya di sini. Di tempat dan waktu yang sama. Di tiap tegukan, aku berharap rinduku akan menguar bersama waktu. Enam belas tahun sudah dengan setia kulakukan hal yang sama tiap hujan menyapa. Entah sampai kapan akan berakhir. Semakin hari aroma kopi semakin mengental. Begitu pula dengan rinduku. Secangkir kopi ternyata tak mampu membunuh rinduku padanya.





No comments:

Post a Comment