Adalah merupakan suatu jaringan parut akibat pembedahan uterus
sebelumnya. Berdasarkan studi yang ada
bahwa lebih dari 50% ibu dengan kasus jaringan parut akibat riwayat sectio
caesarea transversal rendah dapat melahirkan pervaginam. Frekuensi jaringan parut pada saat ini lebih
banyak diakhiri dengan sectio caesarea untuk mengurangi kasus ruptur uteri (Yulianti,
2006).
Kehamilan dan kehamilan dengan parut pada uterus harus dicari penyebabnya
mungkin karena bekas sectio caesarea, ruptur uteri, miomektomi atau reseksi
korpus uteri. Jaringan parut dapat
menyebabkan uterus lemah yang pada akhirnya dapat menyebabkan ruptur uteri pada
saat persalinan (Saifuddin, 2002).
Penelitian yang pernah dilakukan bahwa 50 % pasien dengan kasus jaringan
parut karena sectio caesarea dapat melahirkan pervaginam dengan terlebih dahulu
melakukan informed consent bahwa persalinan dengan luka parut dapat
mengakibatkan ruptur uteri (Saifuddin, 2002).
Pada saat akan melakukan partus percobaan harus memperhatikan kondisi yang
dapat mendukungnya seperti: riwayat operasi sebelumnya adalah insisi transversa
rendah, presentasi janin adalah presentasi vertek normal. Jika syarat tersebut tidak dapat dipenuhi
dapat dilakukan sectio caesarea (Saifuddin, 2002).
3.
Cephallo
Pelvik Disproportion (CPD)
Merupakan
diagnosis yang ditegakkan pada trimester III di mana pada usia kehamilan >
37 minggu kepala janin belum masuk pintu atas panggul. Untuk pertolongan persalinannya dapat
dilakukan sectio caesarea karena resiko terhadap janin sangat besar jika
dilahirkan pervaginam (Jones, 2002).
CPD merupakan
penyempitan pintu atas panggul yang menyebabkan berkurangnya kapasitas panggul
sehingga menyebabkan distosia pada saat persalinan (Cunningham, 2006).
Pada kehamilan aterm kepala bayi masih berada di PAP karena tidak bisa
melewati pintu atas panggul, hal ini
diketahui lewat pemeriksaan palpasi secara leopold IV kepala janin masih bisa
digoyang, bahkan pada saat ini separuh kepala bayi masih berada di PAP (Manuaba,
1998).
Proses persalinan merupakan suatu proses mekanik, di mana suatu benda
didorong melalui ruangan oleh suatu tenaga yang terdiri dari janin, his dan
kekuatan mengejan ibu. Pada saat palpasi
jika ada CPD dapat diuji dengan perasat OSBORN yaitu kepala didorong ke arah
PAP dengan satu tangan di atas simfisis pubis sedang tangan yang lain mengukur
tegak lurus pada kepala yang menonjol (Mochtar, 1998).
4.
Letak
Lintang
Adalah bila sumbu panjang janin
kira-kira tegak lurus dengan sumbu panjang tubuh ibu, bila sumbu tersebut
membentuk sudut lancip, hasilnya adalah letak lintang obligh. Pada
letak lintang bahu berada di atas pintu atas panggul sedang kepala terletak di
salah satu fossa illiaka (Cunningham, 2006).
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus
dengan kepala berada pada salah satu sisi yang berlawanan dengan sisi bokong.
Pada umumnya bokong berada lebih tinggi
dari kepala janin, sedangkan bahu berada pada pintu atas panggul. Pada kehamilan prematur, hidramnion, kehamilan kembar dan perut lembek merupakan
predisposisi dari letak lintang.
Pertolongan persalinan letak lintang selalu diakhiri dengan sectio
caesarea, karena apabila dilahirkan pervaginam dapat menyebabkan kematian janin
dan ruptur uteri (Wiknjosastro, 2005).
Jika sudut yang terbentuk oleh kedua sumbu ini tajam disebut oblique lie
yang terdiri dari deviated head presentation (letak kepala mengolak)
dan deviated breech presentation (letak bokong mengolak). Karena itu biasanya yang paling rendah ialah
bahu (shoulder presentation) (Mochtar, 1998).
Pada kehamilan dengan letak lintang tidak dapat dilahirkan secara spontan,
kecuali bila janin kecil (prematur), IUFD, panggul luas. Pertolongan persalinan pada panggul sempit
adalah melalui sectio caesarea (Mochtar, 1998).
5.
Gagal Induksi
Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses persalinan,
jika pada proses stimulasi persalinan tidak dapat memulai persalinan maka
disebut gagal induksi (Marjono, 1999).
Menurut Wiknjosastro, 2005 induksi persalinan adalah usaha agar
persalinan mulai berlangsung sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan
merangsang timbulnya his.
Indikasi-indikasi yang penting adalah postmaturitas dan hipertensi. Di samping itu induksi dapat dilakukan pada
rhesus antagonismus, diabetes melitus, KPD tanpa his. Namun induksi memiliki syarat-syarat seperti
servik telah matang, tidak ada CPD,
tidak ada kelainan letak janin dan kepala janin sudah masuk PAP. Induksi dengan pemberian infus intravena dan
pemecahan ketuban cukup aman bagi ibu dan janin apabila syarat-syarat tersebut
di atas dapat dipenuhi dan kemungkinan induksi persalinan gagal dan perlu
dilakukan sectio caesarea.
Pemeriksaan keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian
terbawah janin dan keadaan panggul, maka dapat dilakukan induksi jika
syarat-syaratnya terpenuhi dengan memberikan infus oksitosin drips 5 – 10
satuan dalam 500 cc dekstrosa 5% dimulai dari 12 tetes per menit, dinaikkan 10
– 15 tetes sampai 40 – 50 tetes permenit.
Pemberian oksitosin tidak dapat terus menerus (Mochtar, 1998).
Bila inersia disertai dengan CPD dan terdapat inersia uteri sekunder dan
setelah induksi dalam 24 jam pada primi persalinan belum berlangsung dan 18 jam
pada multi, sebaiknya persalinan diselesaikan dengan teknik ekstraksi vakum,
forsep maupun sectio caesarea, sesuai dengan indikasi dan hasil pemeriksaan
yang didapat (Mochtar, 1998).
No comments:
Post a Comment