Monday, June 13, 2016

Cinta Maya Diana (part 1)



"Kamu udah gila kali ya, ndeketin dia, mencoba jatuh cinta, terus kamu tinggalin hanya untuk keperluan survei?"
"Tentu saja aku waras! Justru aku harus melakukannya dengan sadar. Sesadar-sadarnya, agar aku bisa mendeskripsikan semua perasaan dan emosi-emosi yang muncul nantinya."
"Tapi, kenapa harus dia? Kenapa yang usianya jauh lebih muda? Kamu kan bisa cari yang mapan yang seumur?"
"Hahaha ... kamu tahu sendiri, kan? Semua harus terkontrol. Semua harus sesuai dengan aturan permainan dan skenario yang aku tetapkan. Dan aku harus tetap yang pegang kendali!"
"Dengan kata lain, kamu takut jatuh jatuh cinta beneran dan nggak bisa move on? Dasar sinting! Cinta dipermainkan demi sebuah novel!"
"Novel ini jiwaku! Dan aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Jadi aku harus benar-benar jatuh cinta kembali agar bisa menghidupkan tokoh Alea. Jadi tugasmu hanya ingatkan aku kalau perasaanku sudah mulai tak terkontrol. Melenceng dari skenario!"
"Oke! Sak karepmu! Aku kan cuma asisten!" sentak gadis bersepatu kets itu sambil membanting tumpukan naskah di meja. Tepat di depan hidungJulian!
Setelah terlalu lama vakum dari dunia kepenulisan yang telah membesarkan namanya, penulis yang novel pertamanya best seller itu harus mencari hal baru, semangat baru, darah segar, yang bisa memompa adrenalinku agar bisa menuangkan ide-ide segar yang tak hanya disukai oleh pasar tapi bisa memuaskan rasa kangen para penggemar.
Sialnya, Pak Prayogo, bos sebuah penerbitan besar itu menyuruhnya menulis genre metropop, khas generasi urban masa kini. Tak ada pilihan lain. Skenario itu harus dijalankan, atau novelnya akan ketinggalan jaman. Lelaki botak itu memang enterpreneur sejati. Feelingnya tentang pangsa pasar sebuah buku tak pernah meleset. Dan Julian terpaksa harus mengikuti kemauannya, atau namanya akan tenggelam dan dilupakan!
---
Diana, sebuah nama yang manis. Calon penulis berbakat dengan larik-larik puisi yang memikat. Ada sebuah keresahan dan kesepian dalam tiap baitnya. Cerpen-cerpennya pun cukup memikat. Dari beberapa kesempatan memberikan kritikan di sebuah grup kepenulisan, mereka menjadi dekat. Saran-saran Julian yang memberikan kritikan membangun membuat tulisan gadis itu semakin berbobot.
Laki-laki itu memang pandai memainkan perannya dengan baik. Penulis senior yang ramah, jago menulis puisi, religius, pandai memberikan kritikan yang memotivasi, dan jago melawak adalah daya pikat yang tak diajarkan di buku mana pun, yang selalu dengan mudah menaklukan hati tiap wanita, tak terkecuali hati Diana yang perasa. Siapa yang tak melambung hatinya didekati seorang Julian Iskan?
"Ini sudah enam bulan, Jul! Hentikan semua sandiwara ini atau kamu akan melukai hati orang-orang yang kamu cintai!" serang Dian, sang asisten, untuk ke sekian kalinya.
"Tanggung, bentar lagi novelku kelar!"
"Apa jangan-jangan kamu udah jatuh cinta beneran, dan tak sanggup melepaskannya seperti skenario semula?" kejar gadis yang telah rela membantunya selama karirnya menjadi penulis itu. Sebagai seorang asisten, Dian melakukan banyak hal seperti membantu melakukan riset, mengetik naskah, mencarikan referensi dan banyak hal lain yang sangat membantu Julian.
"Emang apa salahnya kalau aku jatuh cinta beneran?" jawab pria itu datar. "Itu, kan nggak sesuai dengan skenario kita, Jul!" sahut Dian kesal. Ah, Julian, kamu tak pernah tahu perasaan seorang wanita! Batinnya sedih. "Dasar laki-laki! Selalu saja egois!"
"What??"
"Dengar, ya, Julian Iskan, penulis senior yang hebat. Kamu harus kembali ke rencana semula. Lupakan Diana dan cintamu yang maya itu! Selesaikan novelmu segera, atau karirmu akan sekarat! Pokoknya aku nggak mau tahu, ya," sungut gadis itu sambil sekali lagi membanting tumpukan naskah di meja sampai kertasnya berserakan tak karuan.
Hmmm ... benar juga kata Dian. Pak Prayogo menunggu draft final novelku. Kalau tenggat waktunya sampai terlewat aku pasti digorok sama dia. Huh! Beginilah nasib penulis di negeri ini. Selalu tak punya kebebasan berekspresi. Selalu tersandung masalah UUD. Iya, UUD! Ujung-ujungnya Duit, batin pria berusia hampir empat puluh tahun yang masih betah membujang itu masygul. Diana ... bagaimana aku harus mengakhiri ini semua?
(bersambung part 2)

No comments:

Post a Comment