Ini adalah surat kedua yang kutulis untukmu, yang terpilih dan
terkasih. Walau kau tak membalasnya, aku yakin kau pasti membaca.
Mungkin angin musim dingin tlah membisikkannya untukmu.
Aku hanya ingin berterima kasih. Karna tlah kau ajarkan aku sastra,
cinta dan kehidupan. Juga tentang arti memiliki, kehilangan dan
perpisahan. Demikian pula tentang luka dan penyembuhan diri.
Di kamarku masih tersimpan rapi, buku-buku yang kau kirimkan dulu,
dengan puisi di halaman pertamanya. Lalu berpuluh-puluh email kita
bergumul. Mengeja larik demi larik. Kau bilang kisah kita seperti may
ziadah dan kahlil gibran. Sedang aku berharap seperti Siti Fatimah dan
Sayyidina Ali.
Lalu kubalas dengan gitanjali.
Kemudian, seperti biasa, kita bercengkrama di dunia maya. Tentang
indahnya sejuta rasa sang pujangga.
Kadang terasa kita
masih duduk bersama. Pada pertemuan pertama kita. Di teras rumahmu, di
bawah cahaya bulan. Ditingkah gemersik daun bambu. Kau bercerita tentang
bima yang menyelami samudera tak bertepi. Mencari tirta pawirta sari.
Menurutmu kedalaman jiwa tak pernah bisa terselami. Pun luasnya tak
bertepi.
Kini kumulai bisa. Merangkai abjad menjadi
aksara. Aksara menjadi larik. Larik menjelma bait puisi. Ah, itu takkan
seindah gitanjali. Karna tiap aksara yang kutulis hanya mampu mengeja
namamu.
Menurutmu selalu, perjumpaan dua jiwa lebih
penting. Dari pertemuan dua raga. Apakah salah, jika suatu saat kita
bersua? Mungkin di tepi telaga menjer? Kita bisa berkejaran menuruni
tebingnya yang curam. Berebut menjangkau pantainya yang teduh.
Lalu kita memetik ranumnya strawberry liar, atau menghirup segarnya
mata air telaga. Seperti Siti Hajar memuaskan dahaga para pengelana
dengan seteguk air zam-zam. Kita duduk berjajar di hijau rerumputan.
Memandang nelayan melempar jala di atas perahu jukungya yang tak
berlayar.
Mungkin pelataran candi arjuna lebih menarik
perhatianmu? Di sana kita bisa saling bertukar cerita tentang sejarah
anak manusia. Atau tentang lingga dan yoni. Dipeluk gigil kabut yang
melenakan mata.
Atau, kita bisa berkemah di puncak
sikunir. Berharap mencecap keindahan surga. Kita duduk bersama ribuan
pengelana. Menatap hadirnya sang surya menebar asa.
Istirahlah di sini, di sampingku. Di mana lagi kan kau cari surga itu?
Tak usah kau jelajahi pelosok negeri. Surga yang kau cari, hanya bisa
kautemukan di hati.




No comments:
Post a Comment