Tuesday, September 8, 2015

Duduklah di Sampingku


Karya: Umi S. Sodwijo

Ini adalah surat kedua yang kutulis untukmu, yang terpilih dan terkasih. Walau kau tak membalasnya, aku yakin kau pasti membaca. Mungkin angin musim dingin tlah membisikkannya untukmu.

Aku hanya ingin berterima kasih. Karna tlah kau ajarkan aku sastra, cinta dan kehidupan. Juga tentang arti memiliki, kehilangan dan perpisahan. Demikian pula tentang luka dan penyembuhan diri.

Di kamarku masih tersimpan rapi, buku-buku yang kau kirimkan dulu, dengan puisi di halaman pertamanya. Lalu berpuluh-puluh email kita bergumul. Mengeja larik demi larik. Kau bilang kisah kita seperti may ziadah dan kahlil gibran. Sedang aku berharap seperti Siti Fatimah dan Sayyidina Ali.

Lalu kubalas dengan gitanjali. Kemudian, seperti biasa, kita bercengkrama di dunia maya. Tentang indahnya sejuta rasa sang pujangga.

Kadang terasa kita masih duduk bersama. Pada pertemuan pertama kita. Di teras rumahmu, di bawah cahaya bulan. Ditingkah gemersik daun bambu. Kau bercerita tentang bima yang menyelami samudera tak bertepi. Mencari tirta pawirta sari. Menurutmu kedalaman jiwa tak pernah bisa terselami. Pun luasnya tak bertepi.

Kini kumulai bisa. Merangkai abjad menjadi aksara. Aksara menjadi larik. Larik menjelma bait puisi. Ah, itu takkan seindah gitanjali. Karna tiap aksara yang kutulis hanya mampu mengeja namamu.

Menurutmu selalu, perjumpaan dua jiwa lebih penting. Dari pertemuan dua raga. Apakah salah, jika suatu saat kita bersua? Mungkin di tepi telaga menjer? Kita bisa berkejaran menuruni tebingnya yang curam. Berebut menjangkau pantainya yang teduh.

Lalu kita memetik ranumnya strawberry liar, atau menghirup segarnya mata air telaga. Seperti Siti Hajar memuaskan dahaga para pengelana dengan seteguk air zam-zam. Kita duduk berjajar di hijau rerumputan. Memandang nelayan melempar jala di atas perahu jukungya yang tak berlayar.

Mungkin pelataran candi arjuna lebih menarik perhatianmu? Di sana kita bisa saling bertukar cerita tentang sejarah anak manusia. Atau tentang lingga dan yoni. Dipeluk gigil kabut yang melenakan mata.

Atau, kita bisa berkemah di puncak sikunir. Berharap mencecap keindahan surga. Kita duduk bersama ribuan pengelana. Menatap hadirnya sang surya menebar asa.

Istirahlah di sini, di sampingku. Di mana lagi kan kau cari surga itu? Tak usah kau jelajahi pelosok negeri. Surga yang kau cari, hanya bisa kautemukan di hati.

No comments:

Post a Comment