Ada Cinta di Balik Celana
Oleh: Umi Sakdiyah
Huft... kenapa setiap menyetrika celana, wajahnya selalu terbayang ya? Nggak keren banget! Harusnya bayangan wajah gantengnya datang bersamaan dengan rinai hujan, guguran warna-warni daun maple, taburan butir-butir salju, atau alunan musik romantis.
Plak! Kutepuk jidat. Nggak berhasil juga mengusir senyumnya. Sepasang mata telaga dengan naungan dua lengkung tebal dan kernyitan yang khas menyembul di balik mesin jahit. Mencuri pandang ke arahku.
Hmm... semua memang berasal dari celana. Sejak aktif di Mapala, celana panjangku selalu robek. Dan Mang Dullah adalah harapanku satu-satunya. Tangannya yang ajaib selalu berhasil menyembuhkan berpasang-pasang celana. Seberat apapun robekannya. Dan aku selalu berasa lebih pede karenanya.
Minggu lalu, aku gagal menemui pemilik permak Levi's itu. Sebagai gantinya, seraut wajah lugu nan ramah bernama Asep menyembul di balik tumpukan celana.
Entah mengapa, sekali tatap, adrenalinku serasa berlonjakan. Persis seperti saat menaklukan dinding paling terjal di turnamen, atau saat mendaki lereng curam sewaktu latihan mountainering.
Rasanya begitu aneh. Lebih mendebarkan daripada berdiri di pinggir tebing gunung Sumbing. Lebih menggetarkan dari duduk terombang-ambing di perahu karet saat merayapi jeram sungai Citarik.
Tiba-tiba tercium bau gosong. Hmmm… siapa sih iseng banget siang-siang begini masak sate? Bikin laper aja!!!
Ya... ampun!!! Celanaku gosong!!!!
Aduuh... gimana nih! Ini celana andalan dan tinggal satu-satunya. Yang lain? Masih nangkring di jemuran. Mana besok dosennya killer lagi, mana bisa bolos?
"Pake rok aja, Ki!" ujar Tika cengengesan.
"Whats! Pake rok? Tika... kamu kan tahu aku nggak punya rok!"
Huh! Benda yang satu itu memang nggak pernah ada di lemariku. Pernah sekali pake rok, hampir terjungkal di jembatan penyeberangan. Gara-gara ujungnya keinjek kaki sendiri. Sejak itu kuucapkan selamat tinggal padanya. Kalau ibu tahu, pasti tak kan habis waktu sehari semalam untuk memberikan kuliah.
"Kalo gitu pinjem punyaku aja!"
"Yang bener aja, Tika! Mosok aku pake rok kamu! Bisa-bisa seluruh cowok di kampus ngejar-ngejar aku disangka Cheribel," sungutku kesal.
Mau nggak mau harus ke tukang permak lagi. Kan, bisa menyelam sambil minum air. Eits, maksudku sekalian bisa lihat wajah ganteng di balik tumpukan celana.
Maksud hati ingin ketemu Asep, ternyata yang ada cuma Mang Dullah. Seperti bisa membaca pikiranku, tiba-tiba ia berkata.
“Kemarinan waktu Mamang ke pasar, Eneng ke sini, ya? Ketemunya sama si Asep?”
”Eh, iya, Mang.”
“Eta, mah, keponakan Mamang, mau kerja di sini, katanya sih mulai besok,” sambungnya lagi sambil membolak-balik celana, meneliti kerusakan celanaku akibat melamun tadi.
"Ini, mah, nggak bisa ditunggu atuh, Neng geulis," ujar pemilik vermak itu sambil mengamati cap setrika di celana jins. "Eta si Eneng ngelamunken saha? Kok bisa gosong begini?"
Ih, si mamang bikin malu aja.
"Aduuh, tolong saya, Mang. Biasanya Mamang paling jago. Gimana kalau nanti malem? Mamang harapan saya satu-satunya, bisa, kan, Mang?" ujarku memohon.
"Ya, udah atuh, Neng. Biar nanti malam Mamang antar saja, ya? Kasian atuh kalau Eneng kemari lagi. Anggap aja serpis buat pelanggan setia."
Malam harinya, waktu sedang asyik belajar, tiba-tiba terdengar hingar-bingar dari ruang tamu.
"Kinaaaannn... dicari pacarnya tuh... " teriak Tika dari ruang tamu. Suara cemprengnya berhasil mengeluarkan seluruh penghuni kost dari kamar masing-masing. Nyebelin banget sih, mosok Mang Dullah dibilang pacarku.
Tak lama terdengar suara berisik dan cekikian teman-teman kost.
"Mas ganteng, deh, pacarnya Kinanti ya?"
"Namanya siapa? Boleh kenalan dong?"
"Pin BB-nya berapa?"
"WA, Line, Twitter, FB?"
"Kok Kinanti nggak pernah cerita punya pacar ganteng kayak si Mas?"
“Daripada sama Kinanti yang tomboy, mending sama saya saja, Mas?”
Setengah berlari aku bergegas ke ruang tamu. Mosok anak-anak begitu sih, sama Mang Dullah, keganjenan banget. Jangan-jangan...
Di kursi dekat pintu masuk, terlihat Asep duduk tepekur. Ia begitu jengah dikerubutin sepuluh makhluk cantik yang mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Persis seperti alien yang nyasar ke bumi, dan harus menghadapi makhluk bumi yang ganas dan ingin memangsanya.
Aku harus segera menyelamatkannya. Segera kuhampiri mereka.
"Apa-apaan, sih, kalian ini? Udah sono pada masuk, nggangguin orang aja!"
"Cie... cie... yang punya pacar baru, kenalin dong, Kinan," celetuk Tika meledek.
“Iya, nih, Kinan. Punya pacar nggak bilang-bilang. Gitu dong…, mosok ngejomblo terus!” sela Rena cengebesan.
"Ya, udah. Kenalin nih, Asep, pacar baruku, puas? Udah sono bubar!" sahutku membubarkan kerumunan. Mereka pun langsung masuk kamar masing-masing sambil tertawa-tawa. Aduuh, ngapain sih aku pake ngaku pacarnya si Asep segala? Bisa jatuh martabatku di mata dunia, batinku kesal.
"Mohon maaf atas perlakuan teman-teman saya, ya, Mang Asep, mereka memang suka bercanda," ujarku memohon maaf dengan perasaan sangat malu dan bersalah.
"Nggak apa-apa, Neng. Namanya juga anak muda. Ini ada titipan dari Mang Dullah," katanya sambil bangkit berpamitan.
Dengan wajah bersemu merah kuantarkan Asep sampai pintu pagar tempat kost. Kalau begini caranya, bisa-bisa aku nggak berani ke tempat vermak itu lagi. Hadehh...
Keesokan harinya, aku sudah duduk di kelas bersama Tika. Sebentar lagi mata kuliah Statistika I dimulai, tapi PR belum juga selesai aku salin dari buku sohibku itu. Tiba-tiba terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Tumben nih, Pak Tagor, biasanya selalu tiba lima menit setelah jam masuk.
Setelah mengucapkan salam, tiba-tiba dosen killer itu memperkenalkan diri. Lho, ngapain memperkenalkan diri lagi, dan suaranya, sepertinya bukan nada orang Batak.
"Perkenalkan saya dosen baru kalian, nama saya Asep Mulyana. Saya akan menggantikan Pak Tagor mengajar mata kuliah Statistika I"
Penasaran memandang ke depan kelas. Terlihat matanya mengernyit ke arahku. Rasanya aku mau pingsan saja. Atau berharap bisa masuk ke dalam buku. Ternyata dia, Asep, yang wajahnya menyembul di balik celana, yang kemarin dibully anak-anak di tempat kost.
No comments:
Post a Comment