Oleh: Umi Sakdiyah
Aku terhenyak. Ribuan palu serasa menghantam kepala. Dokter Santi pasti hanya ingin menghancurkan kebahagiaanku. Bayi tampan itu tak mungkin bisu. Nyeri yang amat sangat tiba-tiba menusuk luka cesar yang belum kering. Umurku yang di atas tiga puluh lima, dan menderita pre eklampsia berat (PEB) mengharuskan bayiku segera dilahirkan walaupun baru delapan bulan.
Luka itu tak seberapa, dibanding
yang merobek hatiku saat melihat laki-laki yang duduk di samping ranjang.
Wajahnya kosong menatap langit-langit. Gurat kekecewaan nyata tergambar dari
raut mukanya. Penerus trah Djayadiningrat yang dinantinya selama dua belas
tahun ternyata cacat.
Aku tidak terlalu memperhatikan,
sewaktu bayi laki-laki tampan itu tidak menangis waktu dilahirkan. Apalagi dia
harus segera dilarikan ke ruang NICU (neonatal intensive care unit), ruang
perawatan khusus untuk bayi bermasalah. Akhirnya lahir juga penerus keturunan
dari rahimku. Perjuangan kami untuk mendapat buah hati terbayar sudah. Kami
baru curiga setelah dua hari, tak terdengar juga suaranya. Ya, Allah, kenapa
Kau timpakan cobaan yang begitu berat? Batinku pilu.
***
Rumahku begitu ramai. Handai taulan dan para tetangga ikut bersuka cita
menyambut hadirnya keluarga baru.
“Wah wajahnya ngganteng mirip
bapaknya,” komentar Bu Marto.
“Nggak sia-sia Jeng Reni
mempertahankan rumah tangga, akhirnya dapet momongan juga,” sambungnya lagi.
“Iya, Jeng, Jeng, coba kalau
kemarin suaminya jadi nikah lagi, wah pasti nyesel banget, wong akhirnya dapet
anak guanteng gini,” celetuk tetangga yang lain tak mau kalah.
Aku hanya tersenyum mendenger
komentar mereka. Memang setahun yang lalu hampir saja suami menikah lagi. Ia
tidak tahan dengan tekanan keluarga besarnya untuk segera memiliki keturunan.
Untung saja aku segera hamil.
“Tapi kenapa bayinya nggak
pernah kedengeran nangis, Jeng, biasanya bayi kan dikit-dikit nangis,” kata Bude Marto
yang rumahnya bersebelahan.
“Oh, selalu saya susuin sampai
kenyang, Bu, makanya nggak pernah nangis,” jawabku mengelak.
Akhirnya mereka berpamitan. Aku
pun lega. Bagaimana jadinya kalau mereka curiga si kecil bisu? Lambat laun
mereka juga akan tahu. Aku pun menutup pintu dan bersiap tidur siang sewaktu
mereka berbisik-bisik di depan rumah.
“Aku curiga lho Bu, kayak ada
yang ditutup-tutupi sama Jeng Reni.”
“Sama, Bu. Saya curiga bayinya
itu bisu, mosok ada bayi nggak pernah nangis sama sekali.”
“Jangan-jangan Jeng Reni kualat
sama Bu Joko.”
“Iya, dia benci banget sama
anak-anak Bu Joko yang berisik banget. Malah beberapa kali dia teriak-teriak
marah”
“Oh, iya, aku inget, dulu Bu
Joko pernah ke situ minta maaf, eh malah disemprot. Aku inget banget mulut Bu
Joko komat-kamit waktu narik anaknya pulang.”
Astaghfirullahaladziim, benarkah
yang dikatakan ibu-ibu itu? Anakku bisu karena aku kualat sama Bu Joko?
***
Siang itu untuk kesekian kalinya aku terpancing emosi. Tidur siangku terganggu
oleh pecahnya tangisan anak kecil yang tak asing bagi telingaku. Arahnya dari
rumah Bu Joko, yang halaman belakangnya hanya dipisahkan oleh tembok setinggi
dua meter dengan kamarku. Aku begitu marah, ingin rasanya membekap mulut anak
itu.
“Berisiiiik… gangguin orang
tidur siang aja!” teriakku dari pintu belakang. Alih-alih berhenti, suara
tangisan itu volumenya semakin tinggi. Lalu disusul teriakan-teriakan kakaknya.
Aku pun langsung masuk dan membanting pintu.
Kejadian itu sudah berkali-kali
terjadi. Ada
saja yang membuat keempat anak Bu Joko bertengkar, lalu menangis. Rasanya
teriakanku ke arah rumah mereka tak membuat mereka kapok untuk berisik. Aku
memang paling benci dengan anak kecil, karena mereka nakal dan berisik. Mungkin
itu yang membuat aku belum hamil juga setelah dua tahun menikah. Itu yang
selalu dikatakan teman-teman. Ah, itu kan
hanya mitos.
Sorenya, terdengar suara pintu
depan diketuk orang. Aku mengintip dari balik gorden. Terlihat Bu Joko berdiri
di depan pintu. Di belakangnya, keempat anaknya berdiri takut-takut.
“Ada apa Bu, bawa-bawa rombongan segala?”
tanyaku ketus.
“Begini, Jeng Reni, kami mau
minta maaf, karena kami selalu berisik dan mengganggu ketenangan Jeng,” jawab
perempuan setengah baya itu sambil mengulurkan tangan.
“Oh, Ibu tahu tho, kalau selama
ini ngganggu ketenangan saya. Terus kenapa anak-anaknya masih dibiarin aja
berisik? Apa nggak bisa diajarin sopan?” sahutku kesal.
“Maka dari itu, kami mau minta
maaf. Mohon dimaklumi, mereka masih kecil,” sahutnya beralasan.
“Justru dari kecil itu, mereka
harus diajarin yang mbener Bu!” sambungku tambah kesal.
“Anak-anak, ayo salim dan minta
maaf!” lanjut Bu Joko menasihati anaknya.
“Udah nggak perlu, nggak ada
gunanya! Mending Ibu ajak pulang mereka, dan suruh jangan berisik lagi. Saya
sibuk, banyak kerjaan!” usirku kesal.
“Oh, ya udah, Jeng, saya pamit.
Mudah-mudahan Jeng Reni dikasih anak yang nggak berisik.”
Bu Joko menarik anak-anaknya
pergi dari hadapanku. Sebelum berbalik, mata kami bersirobok. Terlihat matanya
begitu tajam dan penuh luka. Aku bergidik.
***
Ya, Allah, betapa sombongnya aku dulu. Betapa aku tak menghargai arti kehadiran
seorang anak. Sekarang aku baru tahu betapa terlukanya hati Bu Joko. Aku harus
segera bertemu wanita itu dan meminta maaf.
Aku segera ke rumah wanita itu.
Semoga ia masih tinggal di blok belakang rumah. Beberapa tahun terakhir ini tak
pernah lagi terdengar suara berisik dari rumahnya. Mungkin anak-anaknya sudah
besar dan tidak nakal lagi.
Ternyata, menurut tetangganya ia sudah pindah sejak
sembilan tahun yang lalu. Ia menjual rumahnya dan segera pindah. Kata tetangga
sebelah rumahnya, kini ia tinggal di Jogja, menempati rumah warisan keluarga.
Dan, anak-anaknya yang nakal-nakal dan berisik, kini kuliah di UGM.
Aku menelan kekecewaan. Kini aku
hanya bisa memohon ampun kepada Allah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku di
masa lampau. Aku berjanji akan merawat dan menyayangi bayi mungilku, apapun
keadaannya. Semoga Allah mengirimkan pertolongannya lewat tangan dokter-dokter
ahli di rumah sakit.
Gimana sih rasanya jika buah hati yang puluhan tahun kita tunggu, tiba-tiba terlahir ke dunia ini dalam keadaan bisu?
ReplyDelete