Wednesday, March 26, 2014

Catatan Kecil Nayla

Oleh : Umi S. Sodwijo


Siang itu aku kaget. Tidak seperti biasanya, Nayla pulang sekolah dengan wajah mendung. Lalu ia menangis tersedu sambil memelukku. Kupeluk ia, sambil mengusap rambutnya.

Aku ingat terakhir kali dia menangis sepulang sekolah. Gadis kecilku turun dari mobil jemputan sambil tersedu. Tangisnya tak juga berhenti sampai beberapa saat. Akhirnya ia mengaku kalau habis dikeroyok teman-temannya. Ada luka memar kehitaman di lengan bagian atas. Aku langsung menelpon wali kelasnya. Keesokan harinya aku langsung menghadap kepala sekolah. Aku ingin meminta perlindungan agar Nayla kecilku tidak dibully oleh teman-temannya.

Aku benar-benar sakit hati dan tidak terima ia dibully teman sekelasnya. Aku bandingkan masa kecilku dulu yang tomboy dan jagoan. Tak seorang pun berani menggangguku, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, seorang teman laki-laki yang sering mengganggu anak perempuan, kutantang berkelahi di halaman sekolah.

"Kenapa Nduk, digangguin Dinda sama gengnya lagi ya? Tenang aja, biar Ibu besok ngadep kepala sekolah lagi," kataku emosi.

"Enggak," jawab Nayla menggeleng lemah.

"Terus, kenapa nangis?" selidikku penasaran.

"Nilai MTK Nayla jelek, huhuhu," tangisnya meledak lagi.

"Udah, nggak usah sedih, kan Ibu selalu bilang, fokus pada kekuatan, jangan pada kelemahan, yang lain kan bagus-bagus semua," sahutku menenangkan.

"Ibu nggak tahu sih, nilaiku jelek banget, cuman empat empat, Naya aja dapet tujuh puluh," raung Nayla sambil memukulkan tangan kecilnya di dadaku.

Sebenarnya aku kecewa dan ingin marah. Nilai empat puluh empat terlalu rendah dan jauh dari standar. Biasanya aku menetapkan standar minimal tujuh, dan enam khusus untuk pelajaran matematika.

Tapi aku sadar, Nayla sedang sedih dan kecewa. Aku harus menghibur dan menenangkan hatinya. Memang untuk mata pelajaran matematika ia lemah. Tetapi untuk pelajaran lain selalu di atas delapan. Bahkan untuk Bahasa Indonesia, PKN dan IPS selalu di atas sembilan, dan selalu 100 untuk Bahasa Arab.

Berkali-kali kusarankan untuk ikut les matematika, tapi ia menolak. Sulungku itu lebih nyaman dan percaya diri kalau diajari ibunya. Berarti kesalahan ada padaku. Mungkin aku kurang sabar dalam mengajarinya matematika. Kemungkinan kedua, metode pengajaranku yang kurang tepat. Hampir setiap belajar matematika kami bertengkar. Pertama, karena ia lama memahami apa yang aku ajarkan. Kedua, metode yang aku ajarkan berbeda dengan gurunya.

"Beneran Nayla pengen dapet nilai bagus?" tanyaku sambil melepaskan pelukan.

"Iya," angguknya mengiakan.

"Sekarang kita buat kesepakatan. Kalau memang mau dapet nilai bagus, minimal tujuh, Nayla harus nurut apa kata Ibu," lanjutku menantang.

"Iya, janji!" jawabnya semangat.

"Sekarang cuci muka, ganti baju, terus makan. Habis makan, boleh baca buku cerita, buka-buka fanpage atau blog, terserah, buat ndinginin kepala. Besok Sabtu-Minggu kita latihan soal."
***

Hari ini Nayla pulang sekolah dengan wajah sumringah. Senyum manis terkembang. Belum masuk rumah ia sudah berteriak-teriak girang.

"Ibu... remedial MTK aku bisa semua!" teriaknya sambil memelukku bahagia. Kamipun berpelukan sambil melonjak-lonjak gembira, seperti anak kecil yang dapat hadiah permen.

"Tuh, kan, kalau sabar dan rajin latihan, pasti bisa, batu aja yang keras berlubang juga kalau ditetesin air terus menerus!" kataku sambil mengacak-acak rambutnya.

Alhamdulillah, Naylaku kini ceria kembali. Senyumnya pun merekah sehangat mentari pagi. Hatiku yang sempat menjadi keping-keping tak beraturan, kini tertata kembali, menjadi mozaik yang indah.

No comments:

Post a Comment